Sunday, March 28, 2010

Bahasaku, bosomu, and my language




Tulisan satu ini sudah pasti bakalan diprotes oleh banyak orang. Yang pertama, bisa diprotes oleh orang-orang yang menganut kosa kata dan tata bahasa yang benar dan rapi. (Tulisan ini akan ditulis dalam lebih dari satu bahasa dan dialek). Kedua, mungkin akan diprotes oleh kalangan akademik yang mengatakan pentingnya satu mother language for the children. Mereka mungkin benar, tapi ini bukan tulisan ilmiah untuk mengklaim benar atau tidaknya suatu teori. This is my story dan story dari kebanyakan teman-teman kita yang dibesarkan dalam suatu lingkungan yang multi language and multi culture.

Saya orang Jawa asli. Bukan Jawa halus ala Solo atau Jogja, tapi Jawa Surabaya. Bahasa Jawa Surabaya iki rodo khas, blasteran antara Jawa dan Madura. Bahasane keras, penuh pisuhan (swearing words) , tapi very very intimate dan penuh rasa kekeluargaan. Selain itu tentunya saya fasih berbahasa Indonesia, lalu sedikit Mandarin sana sini. Mandarin yang saya dapat saat saya masih kecil itu pun bukan Mandarin baku, tapi blasteran Jawa Mandarin. Makanya kalau mau dipakai di event internasional, orang yang bukan Jawa pasti tidak ngerti bahasa Mandarinnya Wong Jowo. Pada saat kuliah, saya pindah ke Jakarta, jadilah gue canggih berdialek ala orang Ibukota. Loe dan gue getu loh. Lalu pergi ke USA, tinggal di daerah West Coast. Jadilah berbicara English What's up, man?. Sewaktu bekerja, saya beruntung dikelilingi oleh banyak orang dari bangsa lain. Diantara sebegitu banyaknya bahasa dan dialek di tempat kerja, yang paling lekat adalah Sing-Lish. Haiya you kepo one ah, you tell me. You want, you take lah.. This one can’t do lah, too complicated meh.

Terus saya married dengan orang Jakarta made in Ujung Pandang. Wah, kalau sudah dikelilingi sanak saudara asal Makassar, jadilah ko jangang makang ikang sama pegang hangfong. (kau jangan makan ikan sama pegang handphone). Wow, ini dialek tergampang yang pernah saya temui. Cukup tambah saja huruf “g” di setiap akhir kata, kadang-kadang buang sedikit embel-embel ‘mi’, ‘kodong’, ‘toh’, bereslah sudah. Sampai suatu saat saya diminta untuk mematikan lampu... “ko bunuh mi tuh lampu.” Alamak, dibunuh pake apa?



Itu cuma contoh sekilas kehidupan saya yang multi budaya dan multi dialek. I am very sure it happens to many of us. Waktu sekolah dulu, saya tidak bisa matematika. Tidak jago fisika. Tidak hebat biologi. Tidak mampu kimia.Tidak suka prakarya. But I looove language. Menurut ukuran saya sendiri, saya ini termasuk lumayan canggih dalam mempelajari bahasa dan aksen. Kumpul dengan orang OZ, ya ikut aksen OZ. Di USA, ya ikut aksen USA. Di China, saya ikut aksen Beijing yang melungker-lungker. Di Singapore, ya Sing-Lish tulen. Terus terang saya sering sekali memamerkan kehebatan saya yang satu ini (yah maklum soalnya gak punya kehebatan yang lain), sampai terkadang membuat jengkel orang yang saya paksa untuk mendengarkan kesombongan saya. “Yes, honey,” kata suami saya. “I am very sure kalau suatu saat loe ditaruh di kebun binatang, sebentar saja loe pasti sudah fasih dengan bahasa dan aksennya monyet.” ”Fine.” Jangan hanya karena satu orang sirik, kita jadi patah semangat.

Pas saya di USA saya pernah mendengarkan seorang teman Indonesia bercerita tentang kesalahpahaman dialek yang dialaminya. Sang cewek ini sudah tak perlu diragukan lagi keahlian multi language nya. Saat sang cewek pulang ke Indonesia untuk bertemu dengan keluarga sang calon suami di Jawa, ceritanya sang nenek dari calon suami minta diambilkan buah dari kulkas. Sang cewek tadi langsung sigap menyanggupi permintaan sang nenek. Lha apa sih susahnya ngambil buah di kulkas aja, pasti begitu pikirnya. Ternyata sehabis memelototi isi kulkas, sang buah yang diminta tetep gak ketemu. Lalu sang cewek bisik-bisik ke cowoknya, “gak ketemu buah plum di kulkas.” “Plum? Siapa yang minta plum? Pelem... pelem itu buah mangga.” Pelototin aja tuh kulkas sampai besok tetep gak ketemu deh si plum. Oh well...

Kalau saya sedang hangout dengan teman-teman saya yang sesama asli Jawa, yang sama-sama tebiasa nyas-nyis-nyus menggunakan bahasa-bahasa asing lainnya, seringkali kita menertawakan diri kita sendiri. Mungkin kita ini menjadi sinting seperti sekarang karena keadaan lingkungan kita yang gado-gado tadi. Mungkin iya, mungkin tidak, who knows. Tapi yang jelas, kita-kita ini menjadi orang yang multi language, multi culture, multitasking too. Ciee, kelebihan yang patut dibanggakan. Terkadang kita lupa bahwa selain kualitas multi-multi an tadi, kita juga menjadi multi njelimet. Contohnya, jika ada orang yang marah ke kita , kita biasanya menyisihkan terlalu banyak waktu untuk menganalisanya.

“Masa marah sih? Ngono wae wes ngambek?”
“tadi doi ngomongnya gimana? In what way?”
“but kata itu ambigious lho meaningnya. Actually how was the context sih?”
“bisa jadi maksudnya doi begini, tapi karena dia gak terlalu fasih berbahasa ini, makanya jadinya weird.”
“body languange nya piye?”
“kalau diucapkan dengan dialek ini, artine iso different, you know.”


Jadinya pada saat kita berkesimpulan bahwa orang tadi benar-benar marah kepada kita, si orang yang marah tadi mungkin sudah masuk UGD saking marahnya. Lha wong marah kok dicuekin. Emang enak?

Sekarang mulai ada bahasa gaul ala Indonesia-English, mari kita sebut In-Lish. So what getu lho, so pasti, eniwei, bai-bai dan lain-lain. Ini belum termasuk bahasa sms/chatting yang penuh singkatan.
Saya punya teman dosen di universitas ngetop. Sang dosen ini selalu mengakhiri sms, chatting, email nya dengan kata “pis”. Saya sempat heran kenapa sih bapak ini selalu mau pipis kalau ngirim pesan? Atau maksudnya beliau itu sedang pissed (marah) ? Saya baru ngeh setelah sekian lama kalau pis itu ternyata artinya peace. Ingat efek multi-njelimet yang saya ceritakan tadi ? Ya ini salah satunya. Ada lagi teman saya yang sok pinter, “so-pasti itu bahasa Indonesia asli lah Mell.” “Bahasa Indonesia gundulmu. Ya so pasti gak lah.”

Terlepas dari kritikan banyak pakar bahasa, saya bangga dengan my upbringing. Memang terkadang membingungkan sih, tapi ya this is me. I am proud of my condition. Tidak tahu sejak kapan saya lebih comfortable berbicara dan berpikir dalam bahasa Inggris. Mungkin saat saya bekerja, karena mau tidak mau harus berbicara bahasa Inggris dengan kalangan expatriates. Bukannya saya mau sok bule, bukan karena saya suka makan roti makanya menjadi bule. Jek iso kok ngobrol pake boso Jowo.
Terkadang saking cepatnya saya bicara, bahasa yang keluar jadi campur aduk. Payahnya adalah kalau pas saya berbicara ke orang tua saya yang kurang fasih bicara bahasa Inggris. Awal-awalnya, kalau saya sudah nyasar ke bahasa lain, orang tua saya selalu berkata “Stop. Stop. Gak ngerti.” Lalu saya rem celotehan saya dan mulai menata bahasa dengan lebih benar sesuai dengan audience saya. Tapi yang namanya kebiasaan, susah dilawan. Sepertinya orang tua saya juga sudah males teriak stop melulu. Entah mulai kapan, sekarang kalau saya sudah menyerocos tak keruan lewat telepon, tidak ada balasan dari seberang telepon. Sunyi... bisa jadi saya ditaruh di speakerphone, bicara bahasa asing sendirian, sedangkan orangtua saya enak-enak nonton TV atau baca koran. Great, just great !

Mau pakai bahasa apa pun juga, saya ya masih asli Jawa Surabaya. Saya paling males ngeladeni orang yang langsung menghakimi orang lain dari kemampuan bahasanya. Kalau gak berbahasa Indonesia, pastinya kurang nasionalis. Gombal lah. Saya ngomong boleh I love you, tapi tetap cinta dengan budaya Jawa saya, tetap cinta tanah air saya, tetap cinta tinggal di Indonesia.

Tetapi memang perlu diingat, tidak semua orang bisa menerima banyak simulasi bahasa dalam waktu yang bersamaan. Hati-hati kalau mau mempraktekkan apa yang kita jalani ke anak-anak kita. Generasi penerus kita sudah pasti harus diajarkan penguasaan bahasa asing lainnya, tetapi jangan sampai membuat mereka bingung dan hilang jati diri.

Eniwei, kita mesti bersyukur karena hidup di negara yang sangat kaya budaya. Kaya bahasa, kaya adat, kaya etnis. Meskipun kadang-kadang harus terpingkal-pingkal dulu sebelum bener-bener ngerti apa maksud bahasa simpang siur kita, tetap I love it so much and I won’t trade it for the world.
Kalau saya boleh monggo mengutip teman saya si dosen, piss ahh!

Tulisan kacau balau ini especially dedicated to my Arek-Arek Suroboyo friends. Pak Mod yang bikin daku bingung, kok setiap kali nulis sms atau email selalu mau pipis. Ibu Ade yang rela mengajari daku bahasa Perancis lewat bbm. And to Basman, my SF Soulmate. No one, I mean no one, is capable of writing bahasa pisuhan Suroboyo as beautiful, as direct and as touchy as you do!! No One! … Bai-bai prens.

No comments:

Post a Comment