Tuesday, June 28, 2011

Kaum ibu dan urusan mengemudi

Sama seperti urusan barang elektronik, mesin, dan pertukangan, hal mengemudi juga termasuk di dalam salah satu daftar pekerjaan yang diyakini akan lebih baik hasilnya jika dikerjakan oleh pria. Sudah berabad-abad lamanya, kita selalu disisihkan oleh pria di dalam urusan berkendara. Malahan ada buku yang menjelaskan secara ilmiah, mengapa pria lebih baik dari wanita dalam hal mengemudi. Menurut para ahli tersebut, hal ini berhubungan dengan cara kerja otak yang berbeda antara pria dan wanita. Anyway, tulisan ini tidak memihak kepada salah satu jender dan tidak ditulis dari segi ilmiah pula. Tetap dalam keamburaduannya, kita hanya mau mengamati suka duka mengemudi dari kacamata kita sendiri.

Entah kenapa, kalau kita melihat ibu-ibu seusia kita mengemudi, otomatis hanya ada 2 kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah rasa kasihan : “Ckckck pantesan amburadul nyetirnya, lha wong ibu-ibu.” Kemungkinan kedua adalah rasa jengkel : “Ampunnn ampunn! Pantesan amburadul. Dasar ibu-ibu!”

Menurut saya, mengemudi itu sama dengan pekerjaan lainnya yang memerlukan waktu latihan. Kita menjadi bisa karena biasa. Kalau dulu waktu SD kita hanya mengetik dengan 2 jari, lambat laun menjadi 10 jari. Anak batita bisa membaca 3 huruf, sekarang kita bisa membaca ensiklopedia. Bisa karena biasa bukan? Nyetir juga (seharusnya) sama saja.

Hanya segelintir manusia dari kalangan kita yang mahir dalam mengemudi. Namun kebanyakan dari kita pas-pasan saja teknik mengemudinya. Bagaikan tingkatan kungfu, tidak semua orang bisa menjadi master shaolin. Yang menjadi master shaolin biasanya sudah berlatih tenaga dalam , bertapa bertahun-tahun, dan sudah mendalami kitab rahasia.



Saya sangat nervous pada saat pertama kali menyetir sendiri. Padahal jarak tempuh hanya 5-10 menit dari rumah ke sekolah anak saya dan sebaliknya. Groginya nyetir lebih grogi daripada groginya wawancara pekerjaan. Saya ngeri banget kalau nanti gaya menyetir saya mengganggu orang-orang lain yang lebih mahir daripada saya. Serem bener rasanya kalau diklaksonin secara brutal oleh supir lain, terutama supir angkot di kawasan Jabodetabek yang terkenal bengis dan sering lupa bertata krama. Urusan parkir pun sampai detik ini masih menjadi momok buat saya. Saya otomatis merasa bersalah kepada pengemudi lain di belakang mobil saya, karena so pasti saya bakal memakan waktu yang (lebih) lama buat parkir. Tentunya saya tidak ingin diklaksonin dan dipelototin orang se-basement gara-gara satu masalah ini. Alamak!

Sudah beberapa tahun lamanya saya menyetir sendiri menerjang rimba perlalulintasan. Walaupun jelajah terbang masih berkisar antara 5-15 menit (artinya nyetirnya gak pernah jauh-jauh dari rumah), saya sudah merasa lebih percaya diri, lebih mantap, dan lebih canggih di dalam teknik mengemudi. Bisa karena biasa , bukan? Tentunya opini saya ini ditertawakan oleh kalangan pengemudi andal lainnya, sebegitu aja kok sudah pede? Tak apalah. Yang jelas ada kemajuan pesat dibandingkan dengan pertama kali saya mengemudi. Sekarang mau parkirpun lebih berani, biarpun saya selalu mencari tempat parkir yang lenggang jauh dari keramaian. Biarpun jauh, yang penting tidak dempet-dempetan dengan mobil lain. Dan tidak perlu merasa diburu-buru oleh pengemudi lain di belakang mobil saya. Tidak merasa dihakimi oleh tatapan mata penuh kritik dari pengemudi andal lainnya. Teknik menyetir di jalan pun sudah meningkat tajam. Sudah berani lah saya pindah jalur apabila (benar-benar) dibutuhkan tanpa harus merasa perut mules. Saya juga mulai paham beberapa fungsi tombol di dashboard mobil (selain setir, tombol AC, dan tombol lampu).

Tapi celakanya, kecanggihan ini pun dibarengi dengan kesombongan. Saya jadi suka meremehkan ibu-ibu yang gaya menyetirnya masih setingkat dua tingkat di bawah saya. Dan rasa sombong ini terbawa di tempat parkir juga. Jadinya saya suka mengamati gaya politik perpakiran di tempat parkir. Kalau ada mobil yang diparkir dengan gaya salsa atau belly dancing (alias melenggak leggok tidak pada tempatnya) saya suka mencibir sombong, ah yang ini pasti hasil parkiran ibu-ibu. Sifat ini tidak membanggakan, tapi sepertinya bawaan, sepaket dengan meningkatnya daya menyetir seseorang. Orang bijaksana bilang, orang pandai mudah sombong. Tidak hanya urusan nyetir mobil, saya yakin ungkapan ini punya makna lebih luas. Ya inilah sifat manusia.

Celaka yang kedua adalah, dengan berkembangnya teknik dan tingkat keahlian saya di belakang kemudi, saya jadi mulai tidak sabaran apabila berada di belakang mobil yang menurut saya tingkat kungfunya belum memadai. Saya jadi sering lupa, kalau dulu saya juga mulai dari bawah, masih suka deg-deg an kalau nyetir, dan ketakutan setengah mati kalau dipepet orang.
Sudah selayaknya saya dari sekian banyak manusia, harusnya lebih toleransi kepada sesama ibu-ibu yang mengalami nasib yang kurang lebih sama dengan saya di belakang kemudi. Untuk ibu-ibu ini, tidak usahlah berendah hati. Memang kenapa kalau kita tidak begitu canggih di dalam mengemudi dan memarkir mobil?

Dan jika kebetulan kalian bertemu dengan ibu-ibu kebanyakan yang pas-pasan cara menyetirnya, mohon tarik napas panjang dan jangan ikutan mengganggu konsentrasi mereka. Mohon ditunggu dengan lebih sabar. Don’t horn us because we are slow, horn us because we are beautiful!

2 comments:

  1. whahahaaa.. jadi ingat ketika gempa & tsunami di Jepang, sebuah koran online memberitakan betapa mereka tetap sabar di jalan raya, tidak terdengar satupun suara klakson!

    ReplyDelete
  2. hehehe..saya lg belajar nyetir juga,haduuuh deg"annya minta ampun, ups ...salam kenal yaaa...

    ReplyDelete