Friday, September 16, 2011

Lebaran Holiday

This past Idul Fitri holiday marked the first Eid holiday that we spent outside our hometown. Usually, in the past few years, every Eid holiday was spent meditating at home, with me being a faithful nanny/maid 24/7. Enough said, we planned this holiday thoughtfully and decided to visit a-not-too-far place for our destination. Tickets, hotel vouchers and passports checked, we finally landed at our destination, only to realize that we weren’t exactly flying away from our hometown despite the passport and the different currency. We still vacationed in a place we called home, complete with its culture, its language, its food and most importantly, its people. This place, which we thought so carefully in the beginning of our trip, was called Singapore “Welcome (back) to the (2nd) Indonesia”.

Singapore was swarmed with Indonesians everywhere. This holiday particularly, the Indonesians went vacationing with their big families, stretching out to 3 generations mostly, plus uncles, aunties, cousins and many more. Everywhere we went, stress-faced Indonesian mommies taking care of their babies and toddlers were to be seen. Some were lucky enough to have a nanny or maid trailing behind them. The bittersweet of Lebaran holiday only true Indonesians can understand.

As hard as we tried to avoid Orchard and the hotels there, we ended up surrounded by all Indonesian guests in our hotel, the brand new spectacular MBS. The check-in process was also spectacular, in both lines and times. It took average 20 minutes waiting time to reach the check-in counter. This iconic hotel was definitely not just an ordinary hotel, mind you, so they tried very hard to compensate the counter’s waiting time by offering many fringe benefits such as circulating welcome drinks, fruits, roses, having clowns/mimes performing, and organizing a live musical symphony in their lobby. Seriously, who wanted to listen to them playing classical music when we were so tired and upset from queuing in lines? But, aside from the classical symphony, the rest of the benefits were appreciated.
For those of you who had spent time in MBS before, you know what I am describing here. This hotel was not just a hotel. It was a new icon for Singapore and its presence has lifted the bar for this industry. This was our second time in MBS, so, unlike other new comers, we skipped the lobby photo taking sessions and the “wows” and “ahhs”. Also, my feet were too sore from standing up too long in the lobby.

Wednesday, September 14, 2011

Fanatisme

Pernah merasa fanatik terhadap sesuatu? Fanatisme yang berlebihan biasanya kurang sehat. Pada umumnya, orang fanatik cenderung melihat sesuatu dari sudut pandang dirinya sendiri dan terlalu mengagungkan apa yang di-fanatik-in nya tadi. Dengan begitu, orang fanatik akan praktis beranggapan bahwa yang beda dengan keyakinannya itu salah atau kalah status. Pendek kata, kalau saya diperbolehkan berpendapat, orang fanatik cenderung tertutup dan kurang mau mengerti pendapat orang lain yang berbeda.

Namanya manusia, apa saja bisa dijadikan obyek fanatisme, dari urusan berat sampai urusan ringan. Dari masalah yang sensitif sampai masalah guyonan. Sejarah telah membuktikan betapa banyak kesalahpahaman, perkara kriminalitas, bahkan perang yang terjadi karena fanatisme yang berlebihan, terutama fanatisme akan agama dan ras.

Saya bukan orang yang fanatik terhadap agama, maksudnya agama saya sendiri. Saya juga bukan orang yang fanatik dengan ras tertentu. Ras saya ya sudah dari sononya, tidak bisa diganti lagi. Saya cukup bangga dengan tingkat fanatisme saya untuk dua hal ini, yang notabene tidak fanatik sama sekali. Oleh karena itu, saya suka heran dan kehabisan napas kalau berbicara dengan orang yang sangat fanatik dengan kedua hal di atas. Capek ngomongnya, karena menurut orang fanatik, yang mereka percayai selalu paling benar dan kepercayaan orang lain sudah pasti “kurang’ benar. Memang tak dapat dipungkiri bahwa kedua subyek ini termasuk yang paling sensitif buat kebanyakan orang. Itulah sebabnya saya berani bersyukur bahwa, untuk kedua hal tersebut, saya masih dapat melihat persamaan diantara perbedaan dan menghargai perbedaan diantara sesama.

Sialnya, saya termasuk orang yang fanatik di hal lain. Saya sangat fanatik dengan zodiac saya. Untung saja urusan zodiac ini bukan termasuk urusan kenegaraan yang membutuhkan kementrian khusus. Kalau tidak, sudah pasti saya menjadi sesosok manusia yang sangat menjengkelkan bagi orang lain, terutama yang berbeda zodiac. Jangankan urusan zodiac teman, lha wong zodiac suami saya saja sering saya remehkan, karena menurut saya, zodiac lain di dunia ini jauh kalah kelas dengan zodiac-ku tercinta. Well, I guess I am not a perfect non-fanatic person after all. Untunglah, di balik kegilaan fanatisme saya ini, saya masih bisa berperilaku sehat. Buktinya, saya tidak melulu berteman atau berkumpul dengan teman se-zodiac saja. Teman-teman saya terbentang dari zodiac Carpicorn sampai zodiac Sagitarius. Mungkin selain akal sehat, faktor lain yang membatasi fanatisme saya ini adalah kesulitan untuk bersosialisasi dengan orang lain jika kalimat pertama yang saya ucapkan adalah “Zodiac kamu apa? Kalau beda zodiac, saya gak mau temenan sama kamu.”